Merupakan
suatu kenyataan bahwa kebutuhan akan energi, khususnya energi listrik di
Indonesia, menjadi bagian tak terpisahkan dari kebutuhan hidup masyarakat
sehari-hari seiring dengan pesatnya peningkatan pembangunan di bidang
teknologi, industri dan informasi.[1]
semakin
berkurangnya ketersediaan sumber daya energi fosil, khususnya minyak bumi, yang
sampai saat ini masih merupakan tulang punggung dan komponen utama penghasil
energi listrik di Indonesia, serta makin meningkatnya kesadaran akan usaha
untuk melestarikan lingkungan, menyebabkan kita harus berpikir untuk mencari
altematif penyediaan energi listrik yang memiliki karakter1 :
·
dapat mengurangi ketergantungan terhadap
pemakaian energi fosil, khususnya minyak bumi;
·
dapat menyediakan energilistrik dalam
skala lokal regional;
·
mampu memanfaatkan potensi sumber daya
energi setempat;
·
cinta lingkungan, dalam artian proses
produksi dan pembuangan hasil produksinya tidak merusak lingkungan hidup
disekitarnya.
Sistem
penyediaan energi listrik yang dapat memenuhi kriteria di atas adalah sistem
konversi energi yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, seperti:
matahari, angin, air, biomas, Panas Bumi dan lain sebagainya
Dalam
prosesnya, seringkali terjadi benturan antara usaha untuk meningkantkan sumber energi
terbarukan dengan penolakan masyarakat sekitar, hal tersebut dapat terjadi oleh
berbagai macam penyebab, seperti proses pembangunan infrstruktur yang
mengganggu aktivitas masyarakat sekitar, pembebasan lahan yang tidak sesuai
yang diharapkan, serta dampak lingkungan yang terjadi. Hal tersebut juga terjadi di Daerah Banyumas, terjadi penolakan
terhadap proyek pembangunan PLTP Baturaden oleh masyarakat banyumas.[2]
Tak
bisa dipungkiri bahwa kecenderungan untuk mengembangkan dan memanfaatkan
potensi sumber-sumber daya energi terbarukan dewasa ini telah meningkat dengan
pesat, khususnya di negara-negara sudah berkembang, yang telah menguasai
rekayasa dan teknologinya, serta mempunyai dukungan finansial yang kuat. Oleh
sebab itu, merupakan hal yang menarik untuk disimak lebih lanjut, bagaimana peluang
dan kendala pemanfaatan sumber-sumber daya energi terbarukan ini di
negara-negara sedang berkembang, khususnya di Indonesia.
Panas Bumi adalah sumber Energi Terbaruakan berupa
panas dari dalam bumi dalam bentuk uap air, air panas, atau campuran keduanya
yang dapat di ekstrak panasnya. Panas Bumi dapat dimanfaatkan secara langsung (direct
use) untuk pemandian air panas, wisata, dll dan tidak langsung (indrect
use) untuk pembangkit tenaga listrik.
Panas
bumi merupakan salah satu sumber energy yang bisa menyediakan listrik secara
kontinyu dengan dampak negatif kecil terhadap lingkungan. Salah satu indikator
dari dampak kerusakan terhadap lingkungan yang kecil adalah tingkat Emisi Gas
Rumah Kaca (Greenhouse Effect) yang sangat kecil dari Pembangkit Listrik Panas
Bumi (PLTP). Tingkat emisi CO2 dan H2S yang dihasilkan
dari PLTP jauh lebih kecil dibandingkan dengan pembangkit listrik yang
bersumber dari energi batubara, minyak atau gas bumi.[3]
Secara sederhana, cara pemanfaatan panas bumi untuk
mengasilkan listrik adalah dengan memproduksi fluida panas bumi dari bawah
permukaan (biasanya kedalamanya hingga 3-4 km) dapat berupa uap air atau air
atau keduanya yang memiliki teperatur 150-250 C (setiap lapangan panas bumi
memiliki temperatur yang berbeda-beda), kemudain fluida panas bumi tersebut
dipisahkan antara uap dan air, dimana uap air digunakan untuk menggerakan
turbin yang kemudan akanmenghasilkan energy listrik, seddangkan air yang sudah
terpisah didiginkan terlebih dahulu kemudian diinjeksikan lagi kedalam bumi.[4]
Dari data Interntional Geothermal Congreess 2014
dalam Restra KESDM 2015-2019, Indonesia memiliki potensi panas bumi sebersar
28.910 MW[5]
yang merupakan nomor 2 terbesar di Dunia, dan sejauh ini per-Agustus 2017 baru
1.699 MW kapasitas terpasang atau sebesar 5.9% dari potensi panas bumi yang
dimiliki oleh Indonesia.
10
Besar Kapasitas PLTP terpasang di dunia
(www.thinkgeoenergy.com)
Rencana
Umum Enegi Nasional (RUEN) yang disusun oleh Dewan Energi Nasional (DEN) pada
tahun 2015, Energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2015 hanya berkontribusi 5%
terhadap keseluruhan bauran energi, pada tahun 2025 direncanakan akan meberikan
kontribusi sebesar 23% dan pada tahun 2050 berkontribusi sebesar 31% dalam
baruan energi nasional. Ini menandakan bahwa EBT akan menjadi fokus utama dalam
pengembagnan energi nasional.
Pada
Enegi Panas Bumi, pemerintah menargetkan pada tahun 2025 kapastias terpasang
sebesar 7.241 MW maka dalam kurun waktu 8 tahun kedepan harus ada pertambahan
kapasitas terpasang PLTP sebesar 5.542 MW. Tentunya hal perlu usaha ekstra
untuk melakukan hal tersebut ketika dalam kurun 3 tahun terkhir hanya terjadi
penambahan kapasitas terpsang sebesar 295.5 MW dan untuk mengejar target bauran
energi nasional pada tahun 2025 perlu menambah 5.542 MW hanya dalam waktu 8
tahun. Sejauh ini beberapa PLTP di Indonesia sudah beroperasi, seperti PLTP
Kamojang, PLTP Darajat, PLTP Wayang Windu, dan PLTP Gunung Salak di Jawa Barat
yang sudah beroperasi semenjak tahun 1980.
Salah
satu Hambatan pemanfaataan energi panas bumi adalah proses penerimaan dari
masyarakat terhadap adanya proyek untuk medirikan Pembangkit Listik Tenaga
Panasbumi (PLTP) karena sebagian besar wilayah keterdapatan sumber panasbumi
berada pada daerah disektiar gunung atau dataran tinggi, yang kemudan ketika
terdapat proses pembangunan PLTP perlu membuka lahan. Hal tersebut menjadi
ketakutan masyarakat dan pecinta alam karena dikhawatirkan akan mengganggu
kestabilan alam dan biodiversitas dari hutan yang dibangun PLTP.
Sebenarnya
luas wilayah yang digunakan utuk area PLTP kurang lebih 5% dari luas hutan atau
kawasan konservasi. Sebelum pembangunan juga disusun UKL-UPL untuk memastikan
kelangsungan proyek pembagunan PLTP meperhatikan kondisi alam dan lingkungan. namun
karena ketidaktahuan dan ketakutan masyrakat akan hal tersebut, serta kurang
pahamnya mengenai urgensi energy panasbumi membuat proyek pembangunan PLTP ditentang
di beberapa wilayah.
Benturan antara pembangunan dan kondisi alam memang
bukanlah hal yang baru , sebelumnya ada konflik mengnai Semen Indonesia di
Rembang, Pembangunan Bandara di Kulon Progo, PLTPB di Gunung Lawu, dan
sebagainya. Penolakan terhadap Proyek PLTPB di gunung slamet pun bukan hal baru[6],
karena penolakan proyek ini sudah muncul dari beberapa tahun silam. Infomasi
terbaru, aksi penolakan terhadap pembagunan PLTP Baturaden yang diadakan di
depan Kantor Bupati Banyumas barakhir ricuh dan tedapan tindakan represif
terhadap masa aksi[7].
Tentu kita tahu bahwa dalam setiap proyek, baik
pembagnunan infrastuktur jalan raya, area tambang, bendungan,termasuk area PLTP
perlu dilakukan ekplorasi, pembukaan lahan, dan sebagainya. Dalam prosesnya
tentu akan “merusak” kodisi alam yang ada, baik berupa pembukaan lahan utuk
area eksplorasi, pembukaan akses jalan, pembagunan infrastuktur pendukung, dan
sebagainya.
Dalam proyek pembagunan infrastruktur tersebut
pihak perusahaan tentu membuat AMDAL atau UKL-UPL yang berisi mengenai analisa
dampak lingkungan yang akan terjadi selama proyek berlangsung. Dalam hal Proyek
Pembangunan Infrastuktur PLTP baturaden saya belum menemukan dokumen
AMDAL/UKL-UPL dari PT. Sejahtra Alam Energi (Perussahan PLTPB Baturaden),
terlebih sampai tulisan ini dibuat website PT.SAE belum bisa dibuka.
Koddisi alam akibat proyek pembagunan PLTP (sumber
: Kajian Aliasi selamatkan slamet)
Sejauh ini konflik yang muncul pada proyek PLTP
Baturaden adalah mengenai pembangunan infrastruktur PLTPB yang menyebabkan
berbagai masalah pada kondisi lingkungan disekitar lokasi PLTPB, seperti
keruhnya air sungai, terjadi gerakan masa pada area tebing di hutan, turunya
beberapa hewan liar di daerah hutan ke perkampungan warga, dan sebagainya[8].
Dampak tersebut merupakan dampaik dari prsoses pembagnunan PLTP, namun bukan
secara langsung dari hasil PLTP baik berupa limbah produksi energi listrik dari
PLTPB maupun emisi gas yang dihasilkan.
Saya sepakat ketika pembagunan tidak sesuai dengan
AMDAL/UKL-UPL yang disusun, atau AMDAL/UKL-UPL cacat hukum, kita perlu bergerak
dan mengigatkan seta mengawasi hal tersebut. Tapi tidak serta merta kita
menolak sepenuhnya akan pembagunan, terlebih jika pembangunan tersebut memang
dibutuhkan untuk kebermanfaatan yang lebih untuk meningkatkan pasokan Energi
nasional sekaligus pengembangan Energi Baru Terbarukan guna mengurangi
penggunaan energi fosil. proyek-proyek pembagunan memiliki rencana dan pengaruh
dalam waktu jangka pajang, sedangkan proses pembukaan dan “perusakan” lahan
dilakukan pada awal proyek dilakukan.
Pihak yang terlibat dalam kasus ini hendaklah
saling memahami, PT. Sejahtera Alam Energi sebagai perusahaan pemilik proyek
PLTP, Aliansi Selamatkan Slamet sebagai masyarakat yang menolak pembangunan
PLTP, serta Pihak Pemerintah Bnayumas, Jawa Tengah, dan Pusat sebagai pemegang
kuasa hendaknya saling berfikir terbuka dan saling memahami mengenai
permasalahan yang terjadi secara holistik.
[1] http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1101089425&9 Diakses tanggal
9 Oktober 2017 Pukul 21:37 WIB
[2] http://m.metrotvnews.com/foto/news/8N08BvrN-warga-lereng-gunung-slamet-tolak-proyek-pltp-baturraden/2 Diakses tanggal 9 Oktober 2017 Pukul 21:48 WIB
[3]
Boden, D. (2017). Geologic Fundamentals of
Geothermal Energy. Boca Raton: CRC Press, Taylor & Francis Group.
[4]
Glassley,
W. E. 2014. Geothermal Energy : Renewable Energy and the _____Environment 2nd
Edition. Boca Raton : CRC Press
[5]
Rencana Stategis KESDM 2015-2019 – Kementrian Energi dan sumber Daya Mineral
Republik Indonesia
[6]
http://m.metrotvnews.com/foto/news/8N08BvrN-warga-lereng-gunung-slamet-tolak-proyek-pltp-baturraden/2 diakses
pada tanggal 9 Oktober 2017 Pukul 22:00 WIB
[7]
https://www.merdeka.com/peristiwa/demo-tolak-pltp-baturraden-di-kantor-bupati-banyumas-berakhir-ricuh.html
diakses pada tanggal 9 oktober 23:55
[8]
Fuadi, Muflih., dkk. 2017. Selamatkan Gunung Slamet Dari Ancaman PLTPB
Baturraeden (sebuah pengantar. Banyumas : Aliansi Selamatkan Slamet
Comments
Post a Comment